Sebentar lagi para orangtua akan dihadapkan pada pilihan yang membingungkan dalam proses pencarian sekolah baru. Karena orangtua harus mencarikan sekolah bagi putra-putrinya yang baru mau masuk sekolah atau untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Tentu saja para orangtua perlu mempertimbangkan banyak hal, diantaranya: apakah sekolah itu dekat dari tempat tinggal, mudah dijangkau, lebih murah bahkan gratis, atau apakah sekolah tersebut bermutu. Pastilah setiap orangtua bebas memilih sekolah bagi putra-putrinya sesuai yang dikehendakinya dan seturut pertimbangannya. Dan bagi sekolah-sekolah katolik ini adalah saat pembuktian mampukah sekolah katolik menjadi pilihan para orangtua?
Sekolah katolik memiliki kekhasan dalam menyelenggarakan karya pendidikan, yaitu suasana kekeluargaan yang terjalin yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih. Dan para pendidik mengajarkan kejujuran, mendorong para murid untuk bersikap aktif, mempunyai hasrat untuk belajar sehingga mereka menemukan kenyamanan dalam proses belajar, bahkan mereka menjadi ‘senang belajar’. Mungkin tidak ada yang meragukan kehebatan sekolah-sekolah katolik di masa lalu. Selama beberapa generasi sekolah-sekolah katolik memiliki predikat sebagai sekolah paling bermutu. Maka dahulu banyak orangtua tidak ragu-ragu menitipkan putra-putrinya. Bahkan begitu banyak tokoh-tokoh yang begitu bangga mengakui dirinya alumnus sekolah katolik. Namun apakah benar ini sudah menjadi “masa lalu”? Lalu bagaimana sekolah katolik masa sekarang dan masa yang akan datang? Dan bagi guru-guru di sekolah katolik, sudahkan kita mampu berkawan, berteman dengan para siswa? Sudahkan kita mampu menjadi figur yang baik buat mereka?
Pendidikan anak memang merupakan tanggung jawab utama bagi para orangtua, namun sekolah maupun Gereja, juga harus terlibat di dalamnya. Sekolah katolik perlu memberikan perhatian kepada masalah pendidikan anak, membekali peserta didik dengan pengetahuan dan iman, agar mereka kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pandai, namun juga berkarakter dan berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. Peserta didik perlu diarahkan agar tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga; terlebih lagi agar mereka mengetahui bahwa mereka telah menerima karunia dari Tuhan dan berkewajiban untuk membantu sesama.
SMK Kanisius Bharata adalah sekolah menengah kejuruan katolik satu-satunya di Kabupaten Karanganyar. Dan kami termasuk salah satu sekolah katolik yang tengah mengalami keprihatinan. Betapa tidak. Di usia yang masuk tahun ke tujuh, dari segi kuantitas kami kurang, segi SDM kami terbatas dan dari kualitas kami masih jauh dari predikat bermutu. Sebab ketika kuantitas kurang dan SDM terbatas kami jelas tidak bisa melakukan seleksi siswa baru. Dengan sistem PPDB online, sekolah swasta termasuk SMK Kanisius Bharata praktis hanya mampu menerima peserta didik limpahan dari sekolah negeri–kemampuan siswa di bawah rata-rata. Memang semua peserta didik baru harus dianggap memiliki kemampuan yang sama, namun tidak bisa dipungkiri peserta didik kami adalah mereka yang tidak diterima di sekolah favorit atau terbatas secara ekonomi dan bahkan secara kemampuan berpikir sangat lemah. Dan lagi ketika pemerintah saat ini mengeluarkan kebijakan sekolah gratis, dan sekejap telah mampu memikat setiap sekolah khususnya sekolah negeri meraup keuntungan besar dari program pemerintah ini. Dengan adanya banyak program pemerintah yang secara umum kurang berpihak kepada sekolah swasta, dari segi kualitas sebagian sekolah katolik favorit masih mampu bertahan, namun sebagian besar mengalami kemunduran parah.
Dalam kunjungan ke beberapa rumah calon peserta didik baru, kami mendapatkan banyak kisah menarik yang pertama; ada orangtua yang rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk biaya sekolah anaknya. Ia merasa puas dan bangga karena mengeluarkan biaya yang besar, malahan sama sekali tidak yakin pada sekolah dengan program pendidikan gratis. Dan bagi orang yang secara finansial pas-pasan pun mereka masih ingin membiayai putra-putrinya. Bagi mereka, sumbangan – meski kecil – merupakan bukti tanggung jawab orangtua akan pentingnya pendidikan bagi anaknya. Nah, bagi kami ini merupakan peluang dimana kami bisa memberikan penjelasan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang, yang tidak bisa dinilai sesaat dengan besarnya biaya yang telah dikeluarkan. Pendidikan boleh murah, karena pembiayaannya didukung oleh anggaran negara, namun nilai pendidikan tidak boleh menjadi murahan karena gratis. Sesungguhnya tidaklah tepat pendidikan gratis, yang lebih baik seharusnya pendidikan terjangkau oleh semua kalangan. Peran orangtua dalam ikut membiayai penyelenggaraan pendidikan merupakan sebuah kebajikan yang bijaksana. Inilah yang kami perjuangkan dengan tidak mengobral sekolah kami.
Kedua, kami menemukan keluarga katolik yang dengan banyak alasan enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah katolik. Beberap a menilai sekolah katolik kalah dengan negeri dari segi kualitas, sekolah katolik berisi guru-guru yang diragukan kemampuannya dan sekolah katolik dinilai mengejar jumlah siswa dan meninggalkan kualitas. Ini merupakan tantangan besar yang harus segera kami temukan jawabannya. Sebenarnya ketika para keluarga katolik menyadari bahwa mendidik anak secara katolik dan menyekolahkan di sekolah-sekolah katolik khususnya tingkat SD – SMP merupakan sebuah kewajiban maka sekolah-sekolah katolik tentu tidak akan kekurangan jumlah siswa. Dan gereja secara terbuka menghimbau umatnya untuk melestarikan sekolah katolik tentu itu akan mempermudah sekolah kami. Toh, sekolah kanisius milik gereja. Dan ketika kami mendapatkan kepercayaan dari umat katolik sendiri maka kami akan menjawabnya dengan memberikan kualitas dan menjamin mutu pendidikan. Ada hal mendasar yang telah lama hilang yaitu roh yang menjiwai setiap gerak langkah seluruh komunitas kami, yang melekat pada kepribadian dan memancar dalam setiap tindakan. Manakala seluruh komunitas tampil di masyarakat, namun tidak mampu menunjukkan nilai lebih, sesungguhnya roh tersebut telah tiada. Dulu ketika sekolah katolik maju, para OMK atau Mudika di setiap paroki juga maju. Namun sekarang bisa kita lihat bersama dimana sekolah katolik mengalami kemunduran, peran pemuda untuk gereja juga berkurang.
Lagi, pengalaman ketika mempromosikan sekolah ke beberapa SMP adalah kecenderungan takut menyebut SMK Kanisius Bharata adalah sekolah katolik. Kami harus benar-benar memperhatikan keberagaman yang ada di Kabupaten Karanganyar. Kami menghindari adanya sentiment agama, yaitu sekolah katolik hanya untuk orang katolik. Lalu yang menjadi pemerenungan yaitu kalau kami saja yang ada di dalam sekolah katolik tidak berani menyatakan kami sekolah katolik maka kami harus memperkenalkan diri sebagai sekolah apa? Masak iya, kami menyebut kami sekolah kanisius tapi kami bukan sekolah katolik? Kami menyadari ada yang hilang dari sekolah kami, yang harus dicari dan ditanamkan dalam hati setiap warga sekolah kami, yaitu kekhasan sekolah katolik. Sekolah katolik seolah-olah lepas dari kegembalaan Gereja, kehilangan profesionalitas, kehilangan visi dan idealisme merasul. Kehilangan besar itu diperparah oleh kecenderungan mengejar kualitas semu. Selama ini, praktik sistem pendidikan cenderung mengukur kecerdasan hanya dari segi kecerdasan intelektual yang berorientasi pada angka-angka, berupa besarnya prosentase kelulusan, tingginya nilai ujian nasional dan prestasi-prestasi lahiriah lainnya.
Kami menyadari titik-titik lemah yang perlu dibongkar itu antara lain:
1) persepsi salah akan konsep keunggulan,
2) SDM yang cenderung cinta kemapanan,
3) manajemen buruk dan
Kecenderungan ikut arus dalam menilai kualitas hasil pendidikan berupa aspek akademik semata sungguh mengelabuhi pendidikan itu sendiri. Saat ini SMK Kanisius Bharata bertekad dan berusaha menawarkan output yang berbeda, kami menilai lulusan berkualitas tidak lagi semata diukur dari Nilai Akademik tetapi harus dibarengi dengan nilai tambah lainnya yakni soft skill dan life skill. Untuk itu pendidikan karakter, yang sesungguhnya menjadi ciri khas pendidikan katolik masa lalu, kami tonjolkan kembali dalam segala aspek kegiatan sekolah. Dengan mengusung jargon “Terkoneksi (Teruji, Kompeten, Kontekstual dan Siap Kerja)”. Kami ingin membekali lulusan dengan kemampuan sesuai bidang keahlian ditambah karakter yang kami cita-citakan yaitu Berani, Humanis, Arif, Rajin dan Tangguh. Manajemen sekolah yang semula kurang profesional, terus diupayakan mengarah menuju manajemen berbasis kualitas.
Akhirnya, semua kembali pada tekad dan komitmen bersama. Sekolah katolik berisi manusia-manusia bertalenta yang membutuhkan perekat berupa sapaan kekeluargaan nan manusiawi. Semangat pelayanan harus tetap menjiwai seluruh tenaga pendidik dan kependidikan, sementara itu keteladanan dalam berperilaku sehari-hari menjadi bumbu pembelajaran berkarakter. Sekolah katolik hendaknya juga mampu menjadi miniatur persaudaraan sejati yang berlandaskan kasih, yang pada masa kini sulit ditemukan dalam sekolah-sekolah non katolik. Semoga langkah-langkah perbaikan yang telah diambil dapat mengembalikan kepercayaan dari para orangtua calon siswa baru.